Berita Bisnis

Pengamat Ekonomi Bicara Devisa Lewat Bisnis Pariwisata

Potensi pendapatan devisa dari bisnis pariwisata masih cukup besar. Hal ini bisa dilihat dari jumlah kunjungan turis yang trennya terus mengalami kenaikan.

Pengamat Ekonomi sekaligus Komisaris Independen BCA Cyrillus Harinowo. Mencatat pada 2017 lalu, pertumuhan wisatawan mancanegara mencapai 22% secara tahunan atau year on year (yoy). Cyrillus mengatakan potensi pendapatan devisa dari bisnis pariwisata ini masih cukup besar. Apalagi pemerintah pada 2019 menargetkan kunjungan 20 juta turis.

“Misalkan satu turis ketika di Indonesia melakukan spending US$ 1.100 bisa diibaratkan ini uangnya masuk ke Indonesia melalui pengusaha hotel dan UKM,” kata ekonom yang akrab disapa Nowo, ketika ditemui di Yogjakarta, Sabtu (22/9), Kontan.co.id.

Sedikit berbeda Pengamat Ekonomi Tony Prasetiantono menyampaikan, memang pendapatan dari turis mancanegara masuk sepenuhnya sebagai devisa.

“Namun ada beberapa turis seperti China yang ketika menggunakan teknologi pesan instan dan bertransaksi disana berpotensi devisanya kembali ke negaranya,” kata Tony ketika ditemui dikesampatan yang sama.

Selain itu, menurut Tony ketika berada di Indonesia, turis asing menginap di hotel yang sebagian besar sudah dimiliki asing. Hal ini bisa dibilang merupakan salah satu kebocoran devisa dalam industri pariwisata.

Terkait kebocoran devisa melalui hotel ini sedikit dikoreksi oleh Cyrillus Harinowo. Menurutnya, memang hotel di Indonesia mayoritas memang dijalankan oleh orang asing, namun sebagian besar masih dimiliki orang Indonesia.

Namun Tony bilang peluang meningkatkan devisa dari bisnis pariwisata ini masih cukup besar. Hal ini salah satunya dengan penjualan barang kerajinan tangan khas Indonesia baik dengan cara ekspor maupun ditawarkan ke turis ketika berkunjung di Indonesia.

Disisi lain, Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara menjelaskan, untuk bisa meningkatkan devisa, pengembangan pariwisata dinilai lebih efektif dibandingkan dengan mendongkrak ekspor manufaktur. Sebab, sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan pariwisata bisa didapatkan di dalam negeri. Sementara manufaktur, kebutuhan baku sebagian besar masih didapatkan dari impor.

“Jadi terus terang menurut BI, meningkatkan manufaktur dibandingkan meningkatkan pariwisata lebih mudah meningkatkan pariwisata. Tapi bukan berarti manufaktur tidak dilakukan,” lanjut dia.