Ekonom Senior, Faisal Basri mengungkap fakta mengenai banyaknya tenaga kerja asing alias TKA asal China di industri smelter nikel Indonesia yang diduga bekerja tanpa visa kerja. Dalam kajian Tengah Tahun INDEF yang berfokus pada tema “Menolak Kutukan Deindustrialisasi”, Faisal membongkar berbagai skandal yang tersembunyi di balik kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia. Skandal-skandal ini meliputi masalah TKA nonskill asal China yang memasuki negara tanpa visa atau paspor kerja yang sah. Faisal menyoroti fakta bahwa banyak dari mereka hanya memiliki secarik kertas sebagai tanda identifikasi.
Meskipun mereka dianggap sebagai TKA ahli, faktanya adalah sebagian besar dari mereka adalah pekerja non-ahli seperti tukang kebun dan juru masak. Karena bekerja tanpa visa kerja, mereka tidak membayar biaya sebesar US$100 per bulan yang seharusnya dikenakan.
Selain itu, Faisal Basri juga menyoroti masalah keuntungan yang didapatkan dari hilirisasi ekspor nikel yang dominan dikuasai oleh China. Ia menilai kebijakan hilirisasi nikel merupakan tindakan yang sangat tidak bijak. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, salah satunya adalah harga nikel yang dibeli oleh perusahaan smelter Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar internasional, khususnya di Shanghai.
Faisal Basri memberikan contoh konkrit bahwa harga nikel di Shanghai mencapai US$82,7 per ton, sementara perusahaan smelter di Indonesia hanya membayar sekitar US$40,9 per ton berdasarkan harga patokan mineral yang ditetapkan oleh pemerintah. Lebih lanjut, harga yang diterima oleh para penambang nikel hanya sekitar US$20 per ton. Ini menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan Indonesia dalam proses hilirisasi.
Dalam penjelasannya, Faisal Basri juga mengungkapkan bahwa banyak aspek dalam proses hilirisasi nikel yang dikendalikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam smelter, termasuk trader dan surveyor. Penentuan harga, penjualan melalui trader, hingga pengukuran oleh surveyor semuanya dikontrol oleh pihak smelter. Ini berarti bahwa keuntungan dari hilirisasi lebih banyak mengalir ke China daripada ke Indonesia.
Faisal mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah memperhatikan hal ini dengan serius. Ia berharap bahwa setelah rezim Presiden Jokowi (Joko Widodo) berakhir, skandal ekspor nikel ini akan diungkap dan diatasi. Kendati ada pernyataan dari Dirjen Imigrasi Silmy Karim yang membantah klaim Faisal Basri, kajian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang potensi masalah dalam industri smelter nikel dan pentingnya transparansi serta penegakan hukum yang adil.