Sebuah gugatan terkait aturan mengenai bunga bank yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut dilayangkan oleh Utari Sulistiowati dan Edwin Dwiyana, dan sidang pertama telah dimulai pada Selasa (4/7) yang lalu. Kedua penggugat, melalui kuasa hukum mereka yang bernama Irawan Santoso mengajukan gugatan terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 1765, 1766, 1767, dan 1768 KUHPerdata karena mereka merasa keberatan dengan isi peraturan tersebut.
Pasal-pasal tersebut mengatur adanya perjanjian utang-piutang yang dikenakan bunga atas pinjaman tersebut. Berikut adalah rincian isi dari pasal-pasal tersebut:
Pasal 1765 KUHPerdata menyatakan bahwa “diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian.”
Selanjutnya, Pasal 1766 menyatakan bahwa “orang yang sudah menerima suatu pinjaman dan telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan sebelumnya, tidak dapat meminta kembali bunga tersebut dan tidak dapat mengurangi jumlah pokok pinjaman, kecuali jika jumlah bunga yang telah dibayar melebihi jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang.”
Pasal 1767 menyatakan, “terdapat bunga yang ditetapkan berdasarkan undang-undang dan ada pula bunga yang ditetapkan dalam perjanjian. Bunga yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ditetapkan dalam undang-undang, sementara bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian dapat melebihi bunga yang ditetapkan berdasarkan undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.”
Pasal terakhir, Pasal 1768, menyatakan bahwa “jika pemberi pinjaman telah memperjanjikan bunga tanpa menentukan jumlahnya, maka penerima pinjaman wajib membayar bunga berdasarkan undang-undang.”
Para pemohon menggugat peraturan tersebut karena mereka merasa hak konstitusional mereka untuk menjalankan agama mereka dirugikan oleh pasal-pasal tersebut. Mereka merasa terpaksa untuk menyetujui bunga dalam perjanjian utang-piutang.
Menurut para penggugat, mengambil bunga dalam utang-piutang dianggap haram karena terkait dengan riba. “Ia [bunga] bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Interest, di mana menetapkan bunga dalam urusan utang-piutang dianggap sebagai riba nasiah. Nah, itu dianggap haram,” ujar Irawan seperti yang dikutip dari situs MK.
Oleh karena itu, para penggugat, sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional, merasa dirugikan. Terlebih lagi, konstitusi menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk menjalankan agama dan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
“Oleh karena itu, pemohon berpendapat bahwa hal ini bertentangan dengan jaminan kemerdekaan untuk menjalankan agama sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 UUD 1945,” tambah Irawan. Para penggugat memohon agar MK mengabulkan permohonan mereka secara keseluruhan.
Mereka juga meminta MK menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, mereka meminta agar putusan ini diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.