Menteri Keuangan, Sri Mulyani angkat bicara mengenai julukan “menteri keuangan tukang utang” yang sering disematkan padanya. Dalam pandangannya, julukan tersebut perlu dikoreksi, karena utang merupakan salah satu instrumen penting dalam membangun bangsa. Dalam memajukan pembangunan, ada berbagai instrumen yang bisa digunakan, seperti pajak, subsidi, dan ekuitas.
Namun, Sri Mulyani menekankan bahwa di tengah tantangan kompleks dan keterbatasan APBN, pemerintah perlu mencari instrumen lain, dan utang menjadi salah satu pilihan untuk menambal kebutuhan pembangunan. Menurut Sri Mulyani, negara-negara lain juga menggunakan utang untuk membiayai berbagai kebutuhan, termasuk menghadapi krisis iklim yang memerlukan dana besar. Hanya mengandalkan APBN saja tidak akan mencukupi untuk mengatasi tantangan pembangunan.
Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah tidak sembarangan memanfaatkan utang sebagai instrumen. Keputusan penggunaan utang dilakukan dengan pertimbangan matang untuk memastikan keberlanjutan dan keberhasilan pembangunan.
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa per akhir Mei, utang pemerintah tercatat sebesar Rp7.787,51 triliun, yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Meskipun utang tersebut ada, rasio utang terhadap PDB masih jauh lebih rendah dari batas yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara, yaitu 37,85 persen dari PDB, yang masih jauh di bawah batas maksimum 60 persen.
Menteri Keuangan berharap masyarakat dapat memahami pentingnya utang sebagai instrumen dalam pembangunan dan bagaimana pengelolaannya yang bertanggung jawab untuk keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.